Kulihat bulir – bulir air mata menetes dengan deras dari sudut matanya, mengalir bagaikan pancuran di belakang kolam kangkung dekat rumah teteku. Sesekali juga tangannya mulai menjelajah daerah hidungnya, mengusap ingus yang meluncur deras tak terkendali. Napasnya masih sesenggukan, seakan mencoba menahan seluruh beban tubuhnya yang kering. Sekarang ini kulihat kedua belah pipinya mulai berkurang birunya, tak seperti dua jam yang lalu. Tapi……...masih saja sisa – sisa darah yang mengering dan mulai mengelupas jatuh ke lantai tanah itu…… bertengger di sudut bibirnya.
“Mince, jadi tadi tuh Tius bela ko ??? Gara – gara apa lagi ??? De mabuk ka ??? ‘’, kudengar suara mama membelah desahan napas Mince yang sesenggukan. Pertanyaan mama ini bagiku hanya sebuah pertanyaan klise yang kerap kudengar. Bukan satu dua kali tapi sejak dulu, bahkan sewaktu Mince belum kawin dengan Tius. Mama masih mencecarnya lagi dengan sejumlah pertanyaan beruntun dan sebuah perintah yang cukup keras.
‘’ Ko stop menangis sudah…Baru ko poro tuh tara apa – apa ka ?? De tadi tra tendang atau lot poro toh ??? Kam ini kaco sekali, ko ada hamil eh dapa lot. Laki macam apa tuh….. mama kan su bilang dari dulu….tara usah kawin dengan laki – laki macam begitu. Sarjana tapi cuma jadi pembuka botol. Suda – suda ….ko stop menangis suda……… Mama bosan dengar ko pu menangis tuh’’
‘’ Mama…kenapa mama bilang begitu ??? Mama tra sayang sa ka ???’’, kudengar suara Mince yang masih sesenggukan menyahuti pertanyaan mama. ’’ Mince, mama su tra mo dengar apa – apa lagi. Ko pi mandi dulu sudah, kasi bersih badan dulu, trus obati ko pu luka di bibir tuh……daripada akan tambah parah dan bikin ko tamu di emergensi jadi…ko pi mandi sana. Nanti sore mama dan Mia pi antar ko pulang.’’
‘’Tapi…..mama sa mo tidur di sini dulu…sa tra mo pulang. Sa takut Tius bla sa lagi. Mama…..cuma satu hari saja, sa janji. Mama bah….’’, suara Mince terdengar begitu memelas. Tapi toh percuma mama pasti tra akan ijinkan. Mama masih agak trauma juga dengan kelakuan Tius yang pernah mengamuk di rumah.
Pernah mama coba menahan Mince di rumah tapi Tius datang dan memaksa Mince untuk pulang. Kala itu aku sedang kuliah jadi sama sekali tak terbesit dalam pikiran kalau ada huru – hara di rumah. Tius yang dalam keadaan mabuk mengobrak – abrik dapur. Masih sempat kulihat pecahan piring – piring batu dan gelas di dapur. Mataku juga sempat menatap pecahan piring gantung di ruang tamu. Semuanya hancur tak tersisa. Bahkan pintu dapur menuju tempat cuci piring, yang memang pada dasarnya sudah sangat reot, patah terlepas dari kaitannya. Kala itu aku cuma takut kalau Tius juga merusak kandang babi di belakang rumah. Bukan apa – apa … babi itu sedianya akan kujual untuk biaya persiapan KKN.
Mince…nama perempuan itu. Seorang perempuan muda berumur 20 tahun dan juga seorang ibu rumah tangga berbadan dua. Dia baru saja menjalani kehidupan sebagai isteri Tius selama satu setengah tahun. Kali ini memang nasibnya lebih mengenaskan, kurasa, karna dia pulang ke rumah kami dengan membawa hasil karya Tius di sekujur tubuhnya. Dia kakak perempuanku satu – satunya. Aku sering heran dengan pilihannya untuk menikahi Tius yang nota bene hanyalah seorang pengangguran dan pemabuk.
Pernah kutanyakan padanya alasan dia memilih Tius sebagai suami. Tapi jawabannya hanyalah sepotong kata yang tak kumengerti maknanya...Entah. Hanya sepotong kata ’entah’ yang sempat membuatku nelangsa. Mencintai tanpa mengerti makna mencintai. Aku bergidik akan kebutaan cinta yang membakar jiwa manusia. Sempat kupertanyakan hal itu kepada mama, tapi lagi – lagi kata ’entah’ itu yang mengisi perbendaharaan kosa kataku. Entah....
Sore pun menjelang, mentari mulai menyiapkan diri untuk kembali ke peraduannya. Semburat cahya merahnya mengisi pandangan mata setiap manusia di planet ini. Samar – samar kudengar bunyi jangkrik dan serangga – serangga malam saling bersahutan. Apa mungkin itu semacam sirene agar mereka berkumpul dan memainkan simponi senja ?... Aku tak tahu.
Kulihat anak – anak kecil yang bermain bola pun sudah bergegas meninggalkan lapangan. Wajah – wajah mereka yang berkeringat menandakan perjuangan merebut bola tadi. Aku sempat termangu...bukankah hidup ini bagaikan sebuah permainan sepak bola ? Kita adalah para pemain yang mengejar bola atau boleh kukatakan mengejar kebahagiaan, kadang terebut, kadang terlepas....ah tapi kayaknya hal itu cukup berbeda bagi Mince, kakakku.
Dalam kehidupan Mince, dirinya bukanlah seorang pemain, tapi bola itu sendiri. Terinjak, tersepak, kadang melambung, terbanting jatuh, tersungkur....dan sejumlah aksi lain yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Tapi Mince ibarat sebuah bola yang kuat, walaupun jutaan kali tersepak dan tertendang tapi tetap masih bisa berdiri di titik porosnya. Namun wajah Mince selalu menjadi cermin penderitaannya. Kadang berdarah, kadang biru lebam seperti saat ini, kadang merah bercap telapak tangan dan kerap juga wajahnya mengajak tulang punggungnya menjadi cermin dari karya Tius yang fantastis...yah dengan cap sepatu.
Setiap kali melihat wajah Mince, yang kulihat adalah wajah penderitaan itu sendiri. Apalah artinya keindahan yang terbungkus penderitaan ’pabila keindahan itu sendiri enggan untuk menunjukan wajah aslinya. Usahlah kita singkap cadar itu bila tak kita hempaskan penderitaannya terlebih dahulu.
Melihat Mince bagaikan melihat ke dalam kehidupan yang nyata. Bukan seperti yang selalu didengung – dengungkan orang. Melihat wajah Mince bagaikan bercermin pada sebuah diorama hidup....ah kau dapat katakan bahwa wajah Mince yang kerap berganti warna dari coklat, biru, merah, hitam ataupun putih adalah pelangi kehidupan itu sendiri. Indah namun penuh derita, cantik tapi mengenaskan. Kalau kau ingin tahu seperti apakah penderitaan itu, lihatlah saja wajah Mince. Wajah sang perempuan yang terluka, yang menjadikan penderitaan sebagai cadar wajahnya.
Matanya yang dahulu selalu ceria, seakan – akan saat melihatnya, kau bisa melihat segala keindahan di dalamnya. Matanya yang seakan selalu mengajak dunia untuk tersenyum bersama, hanyalah sebuah kisah klasik untuk masa depan. Yah...mungkin saja dapat kuceritakan pada keponakanku kelak atau pada anak – anakku kalau pernah kutemui sepasang mata terindah di dunia. Tapi .... ah entahlah itu sudah berlalu....tak kutahu sejak kapan. Yang kutahu hanyalah bahwa mata itu sudah kehilangan pesonanya, cahayanya sudah memudar. Yang tersisa hanyalah sepasang mata kelam tanpa harapan, tanpa makna. Setiap kali kau tatap matanya, hanyalah api yang kau lihat.
Jangan pernah berpikir akan kau temui api yang hangat membakar jiwamu dengan cinta dari sepasang mata itu. Api yang kulihat ini hanyalah sebuah api yang dingin, kelam tanpa pancaran cahya. Yang ada hanyalah api yang tenang. Sorotnya bahkan bukanlah hembusan uap panas tapi terpaan angin es. Beku dan dingin. Mati...kering. Aku yakin setiap kali kau menatap mata Mince, kau akan juga merasa kering, gersang, kerontang. Jiwamu akan berusaha mencari air pelepas dahaga. Ada kerinduanmu yang besar untuk mencari kedamaian dengan segera...karena pandangan matanya begitu menyedihkan.
Kehamilannya yang mulai beranjak lima bulan ini membuatku makin sedih. Mince seakan – akan tidak memperhatikan dirinya. Aku tahu kalau ia memang rajin mengontrol kehamilannya. Yang aku maksudkan kalau kakakku ini enggan untuk mengurus wajahnya. Tak usah kau berpikir keras. Aku punya sebuah contoh yang sangat nyata. Bekas luka di pelipis ataupun di bibirnya hanyalah dibasuhnya dengan air panas dan dibiarkan begitu saja. Katanya biar luka itu selalu mengingatkannya kalau cintanya kepada Tius sedalam luka – luka itu. Katanya biar indah tuk dikenang. Tapi bukankah lebih baik bila ia mengakhirinya dengan indah ?? Yang kutahu …Mince adalah sesosok perempuan yang mencintai hingga terluka.
Wajah Mince mungkin adalah topik yang sangat suka kubicarakan. Wajahnya mempunyai cerita tersendiri. Matanya, hidungnya, rahangnya, dahinya, dagunya, bibirnya ataupun bagian wajah lainnya memainkan sebuah kisah. Seperti saat ini, di kala kau melihat bibirnya…kau akan segera mengingat penderitaannya. Bagaimana tidak, bibir itu sempat berdarah terkena tangan Tius. Bibirnya itu kerap mendapatkan perlakuan yang mengenaskan. Bukannya kecupan hangat yang didapatkan melainkan tinju. Kasihan Mince….ia harus menahan perih kala makan dan minum. Padahal lewat bibirnya, ia hanya meminta supaya Tius tidak mabuk. Itupun dengan cara yang teramat sopan.
Kala senja menjelang seperti saat ini, aku dan mama sudah menyiapkan diri untuk mengantar Mince pulang. Rumahnya yang terletak di belahan lain kota telah hampir tercapai. Perjalanan dengan angkutan kota ini hanya kami tempuh dalam waktu 15 menit. Perjalanan mentari yang mulai masuk ke peristirahatannya sama sekali tak kupedulikan…karna yang kupandang hanyalah wajah Mince. Bahkan sempat beberapa pertanyaan mama tak kuacuhkan. Aku begitu terpesona dengan wajah Mince. Aku sempat bertanya pada diri sendiri, apakah wajah ini masih akan tetap merekam penderitaannya lagi. Entahlah....tapi aku takut.
Kekhawatiranku akhirnya memang terbukti. Saat kami mencapai rumahnya, yang menyambut kami bukanlah sapaan selamat malam yang lembut ataupun sekedar sambutan hormat........ melainkan sejuta kata makian. Kata – kata itu meluncur deras bagaikan aliran sungai, dari mulut seseorang yang kami sebut menantu, ipar ataupun suami. Dan lihat....wajah Mince sekali lagi memainkan warna yang berbeda. Kali ini yang kulihat adalah putih. Hei, tapi..bukan itu saja. Ada juga butiran bening yang mengalir turun, perlahan tapi pasti. Dan aku makin terpana kala satu tamparan hadir di pipi Mince. Lihat….ada campuran warna merah di atas putih. Sama sekali tidak indah untuk kali ini.
Aku beku dan kaku. Tubuhku tak dapat bereaksi dengan semua yang kulihat. Aku sering hanya melihat hasil kreasi Tius pada wajah Mince namun tak pernah secara langsung menyaksikan proses pembuatannya. Aku betul – betul kaget melihat wajah Mince... begitu lain. Aku tak dapat mengontrol diriku lagi. Aku bingung !!!! Tanpa kusadari…........... tiba – tiba yang kulihat hanyalah Tius telah rubuh, dadanya berlumuran darah dan sebilah pisau telah tertancap di sana. Aku termangu tanpa tahu apa – apa. Yang kutahu hanyalah bahwa tanganku juga berlumuran darah. Sebelum aku pingsan masih sempat kulihat wajah Mince ............ semakin putih saja. Tapi aku tahu ia tak akan menderita lebih lama lagi................ karena wajahnya adalah wajahku juga.
0 comments:
Post a Comment